Selasa, 12 Mei 2009

menunggu bersama gelombang

Berjalan bersama mentari, menginjak pedal pedal ketidak seimbangan dalam ayunan langkah kaki, sekarang aku merasa sendirian ditengah gempita pesta pernikahan ibunda tersayang. Aneh , baru saja ayah meninggal dunia beberapa bulan, wanita yang selama ini menitipkanku pada nenek , kini tertawa riang dileburan keperihanku. Aku tumbang, getar hati ini melaju kecang terurai dalam buncahan kemarahan yang bergejolak. Seribu Tanya tertancap begitu kokoh dalam sanubari, apakah ia tak merindukanku? Benarkah surga nanti akan kujemput dibawah kakinya? Akankah ia merajut tali kasih antara anak dan ibu setelah sejak lahir ia tak pernah menyentuhku, bahkan hanya sekedar menanyakan kabar padaku? Akankah peluh keringat nenek membesarkan aku dan saudaraku diingatnya walau sedetik saja? Apakah cucuran air matanya saat mengambil cintaku sejak kecil sempat direnungkannya. Walau semua orang sudah beribu kali menjawab pertanyaanku ini dengan sangat meyakinkan seolah mereka semua telah menyelami hati wanita yang kupanggil bunda hingga kedasarnya lalu dimana peran Tuhan dihati mereka?, bahkan tak jarang mereka menceritakan kejadian kejadian nyata tentangnya , hanya untuk meyakinkanku bahwa bundaku adalah orang yang tak pernah merinduku, surga juga masih samar ditelapak kakinya, ia takkan mau membelaiku, dan ia adalah orang yang tak tahu berterima kasih ia anak durhaka, air matanya hanyalah airmata buaya yang akan keluar jika hawa nafsunya memerintahkannya. Namun aku masih saja ingin tahu dari bibir indah dari wanita yang pernah, mengandungku. Walau selama ini ia sangat kurindu tapi setelah beliau berada didepanku terasa ada sekat yang sangat lebar berada diantara kami, hingga Tanya ini sekarang hanya jadi penghuni hatiku, bermuara dalam relung jiwa yang terkoyak. Dikursi ini aku hanya bisa menatapnya, ia memakai baju bodo berwarna merah ( pakaian adat suku makassar ), ada banyak perhiasan bertaburan disetiap tubuhnya, ia amat cantik, kulitnya putih, rambutnya hitam lurus panjang namun sekarang terkonde, bibirnya mungil dan bola matanya indah sekali. Namun, walau begitu tak jarang kudengar cibiran dari tamu kepadanya
“hem…wajahnya aja yang cantik ,kelakuannya singa ih..”
“iya bu’ liat aja nanti paling jika selesai pesta ia akan segera pergi ,tanpa peduli dengan anak anaknya”
“ ah sudahlah , mudah mudahan anaknya tak ada yang mengikuti kelakuannya”.
Entahlah walau aku tak begitu mengenal bunda tapi batin ini perih mendengar itu, dan tentu saja yang kubisa yang tertunduk malu dan menangis, walau mungkin aku ditakdirkan jadi anak laki laki aku takkan berani membela bunda, karena mereka sangat tahu bahwa aku tak pernah disentuh ibu kandungku itu.
“Vani kamu disini toh, ayo sana angkat gelas gelas kotornya” perintah seorang tua yap ia adalah nenekku, yang sejak lahir aku dirawatnya entahlah penuh kasih sayang atau tidak, yang kutahu sejak aku dapat mengenalnya, ia jarang memperlihatkan kesan ramah padaku.
“iya nek bentar lagi dong” aku juga bukan anak baik yang penurut akan ada bantahan setelah perintah dan ini terjadi berkali kali.
“Vani…sekarang..!” gertaknya bola matanya tak terbantahkan galaknya, walau kulit wajah telah keriput tapi masih saja tak bersahaja kepadaku.

Sekarang aku tak yakin ketika aku minum nanti aku bisa melepas dahaga ini, karena haus yang kurasakan ini bukan sesuatu yang bisa tersiram oleh tetesan tetesan air saja, namun tubuhku kering kerontang oleh kasih sayang dan yang bisa menyegarkannya adalah sebentuk kasih sayang entah itu hanya setetes saja dari mereka. Jika aku berkaca wajahku tak jelek jelek amat untuk diperlakukan lebih baik, juga bentuk tubuhku masih sempurna tak ada cacat sedikitpun malah. Lalu apa yang membuat semua orang yang kusayang merebut cintaku, merebut kasih sayang yang seharusnya kudapat. Aku takut ketika usai tujuh belas nanti aku kehilangan jati diri karena kekeringan yang melanda hatiku ini. Hingga haus yang menderaku takkan lepas jua dahaganya.

Keesokan harinya saat membuka mata, saat gema gema pesta tadi malam masih terasa kulihat bunda telah siap-siap pergi dari rumah ini, siap meninggalkan kami lagi, siap terbang bersama arjuna dari negeri seberang namanya Riky. Ia berpamitan pada nenek tanpa mau menoleh padaku dan kedua saudaraku yang lain. Tapi setelah mengumpulkan kata dan keberanian beberapa tahun terakhir ini, saat usiaku menginjak belasan tahun akhirnya aku berani juga memanggilnya
“bunda tunggu…” tiba tiba saja semua mata memandangku, suami barunya simata biru, nenek, kak Dedi dan dek Via juga pak Udin dan daeng Ngintang bahkan ia sendiri, sebelumnya aku tak berani memanggilnya karena semua orang tak mengajariku memanggilnya dengan sebutan itu apalagi nenek selalu mewanti wanti agar aku tak memanggilnya seperti itu, entahlah kenapa?. Yang penting aku sekarang berdiri dihadapannya, menatapnya dalam iapun membalasnya
“walau tak tahu mengapa anda tak pernah mau mengakui kami, aku hanya ingin bilang bu bacalah surat ini diperjalanan nanti, dan ingatlah bahwa anda tak sendiri masih ada Tuhan bersama hatimu”, akupun segera berlari menuju kamarku dan tak mau tahu lagi apa yang kan terjadi nanti. Isi surat itu adalah:

Aku bukanlah anak jalang yang terhina oleh debu dan cercaan orang karena mengemis sebab aku masih punya ibu
Aku juga bukan anak badung yang pantas diberi caci tapi aku lahir dari rahim seorang wanita yaitu engkau, jadi aku tak pantas untuk merasa terhina walau getirnya hidup tanpamu sangat menyudutkanku, ibu adakah aku

dihatimu?
Dan sebentar lagi usaiku tujuhbelas tahun, kumau ibu berkenan memilihkan bintang untukku walau sinarannya tak secerah bintang dimalam gelap. Ibu.. aku takkan bertanya mengapa anda memperlakukanku seperti ini karena kuyakin anda akan terluka, tapi percayalah ibu aku menunggumu dipesta kecil perayaan ultahku.dan kumau engkau memanggilku nak sekali saja , lalu pergilah jika anda ingin pergi,atau marahlah jika anda ingin marah atau cacilah aku semaumu jika anda ingin mencaci atau goreslah silet di tubuhku jika kata nak itu amat mahal untuk anda sebut, setelah itu aku takkan mau menangis lagi.yach bu plis….!!!tepat jam daubelas teng…datang yach bu..

Aku sibuk mengatur nafas diri, mengumpulkan kekuatan dan merangkai jawaban jika nenek menghukumku nanti karena telah melanggar perintahnya. Yang kutahu aku berhak memanggilnya, Negara tak melarangku memanggil bunda, agamapun tak begitu , juga adat istiadat lalu apa yang membuat mereka tak membiarkanku menyebutnya bunda?.
“Vani keluar sekarang…keluar”
Aku tersentak mendengar lengkingan suara nenek, selama ini aku tak diajari untuk jadi pecundang yang setelah berbuat kesalahan lari dari kenyataan, dengan sigap kupenuhi seruannya
“ sekarang duduk!!! “
“kalian semua juga duduk, tak ada yang boleh bicara selain kutanya”
“Vani, ada apa denganmu?”
“aku ha…..us”
“pak Udin ambil satu air ember dan siramkan pada anak remaja yang satu ini, memalukan tadi itu tuan Ricard kaget, dan sempat bertanya panjang lebar, untung ibumu bisa mengalihkan pembicaraan” tanpa menunggu lanjutan kataku”jadi simata biru nggak tahu kalau sebenarnya , kami ini anak bunda?” teriakku
“pak Udin siram dia!”
Tak tanggung tanggung pak Udin menyiramiku satu ember air dingin, aku basah
“sudah tak haus lagi?”
Tiba tiba aku bersimpuh dihadapan kakinya, sepintas kupandang wajahnya, jelas terbaca ia begitu puas ketika aku bersujud dihadapannya tapi demi apa yang selama ini kusembah tak ada niat bersimpuh mengalah padanya, aku hanya ingin menggambarkan bahwa walau berjuta juta ton air merendam tubuhku sekalipun takkan dapat menyembuhkan kehausan yang meliuk liuk ini.
“nek…aku haus bukan karena tubuhku butuh seteguk dua teguk air, tapi aku anak manusia yang butuh belaian sayang, walau mengemispun nenek tak mau memberi lalu kemana aku harus meminta kalau bukan dari ibu kandungku, apa salah hah.?.jika salah tolong ber aku alamat dimana tempat agar aku bisa mendapat tetesan kasih sayang, bahkan warga desapun tak kau biarkan memberi sedikit cinta saja, nenek mengunci aku disini”,
“daeng ngintang bawah ia masuk kamar!””baik bu”.
Pagi ini tak kudapati diriku bekerja tak seperti biasanya, menyiram bunga, cuci piring dan mengepel lantai, karena tubuhku sudah tak mampu kugerakan, demam menimpaku kemudian beberapa hari tak masuk sekolah. Yang memilukan hati nenek tak pernah mau menjengukku atau sekedar mengirim salam padaku menyedihkan yach….
Aku juga bukan orang yang banyak teman jadi sudah tentu selain telpon dari wali kelasku tak ada lagi yang mencariku.
Aku sedirian lagi……..
Dan detik detik menjelang usiaku tujuh belas tahunpun tiba, tepatnya pukul dua belas nanti, disebuah kamar kecil milikku aku akan berpesta, yang kuundang hanya sang gelombang dan ibu adalah tamu istimewanya.
Sebatang lilin telah kunyalakan sepuluh detik lagi umurku kan berganti, aku telah berdandan rapi sebuah kue donat kecil telah kuhias seindah mungkin, hatiku berdebar debar akankah ibu mau menghadiri pesta kecilku ini. Walau sebenarnya sangat tak mungkin.
Akupun membuka jendela kamar serta merta sang gelombang datang bersama desiran desiran lembutnya
“ gelombang angin, sabar yach ibu belum datang, jangan mematikan lilinnya dulu, karena koreknya terbatas, bergeraklah disekitar ruangan ini dan jangan meninggalkanku” dan sekarang aku menunggu ibu bersama gelombang angin malam.
Jam wekerpun berbunyi menunjukkan saat ini tepat pukul 12:00,kupejamkan mata kemudian berdoa pada Sang Panguasa Hati
“ Ya Rabb, Engkaulah bersamaku sekarang, terima kasih telah mengirim sang gelombang angin untuk datang menemaniku dari situ kurasakan kebesaran-Mu, Ya Rabb maaf akan atas segala apa yang telah kuperbuat selama ini, terima kasih banyak, aku sadar banyak laku yang tak menggambarkan bentuk syukurku padamu,
Ya Rabb jika ibuku tak mau memenuhi undanganku , tuntunlah aku agar terus bisa mendoakannya, dan tutupilah rasa kecewa ini dengan cahaya-MU .izinkanku pergi mencari tahu tentang Engkau dan ibu yach…..amin.”akupun membuka mata bersiap meniup lilin kecil yang hampir pupus ini, tiba tiba saja ada bayang indah berdiri dihadapanku, Allahu Akbar ia bunda iya benar dia bunda aku tak berani menyentuhnya walau ia menyodorkan tangan, karena aku takut ketika kusentuh ia akan menghilang tapi suaranya begitu nyata akupun perlahan melangkah mendekatinya, ia begitu nyata sekarang kulit wajahnya makin putih , hidungnya memerah nampaknya ia baru saja menangis
“bunda, maaf bu!””Vani maaf kan ibu nak “ia memelukku begitu erat aku tak berani menyentuhnya karena aku masih takut ia akan menghilang dari pelukanku, aku ingin berlama lama dipeluknya, aku tak mau penantianku selama 17 tahun tersia siakan oleh sentuhanku walau sangat ingin membalas pelukannya, tangisnya begitu terasa membasahi pundakku
“ibu…..”
“ Vani mengapa engkau hanya diam, balaslah pelukan ibu nak?”
“ aku takut bu , ibu akan pergi”
“ ibu takkan pergi lagi nak”
“ benarkah”
Dengan ucapan bismilallah akupun membalas pelukannya dan benar saja ini adalah kenyataan. Sepanjang malam ibu bercerita tentang kelahiranku tentang ayah dan saudaraku yang lain sampai pada ramalan dukun kampung yang mengatakan bahkan jika ibu berani berani mencoba menyentuh, mengasuh, apalagi menyusui anak anaknya maka suaminya akan mati. Awal ibu tak percaya namun setelah kelahiran anak pertamanya suaminyapun mati dan setelah itu ia menikah lagi dengan seorang laki laki bersuku bugis dan kemudian melahirkanku saat itu naluri keibuannya saat melihatku timbul sehingga ia tak sengaja menyentuh kepalaku dan tak lama setelah itu ayahku tertabrak mobil, lalu meninggal dunia dan kemudian iapun menikah dengan seorang duda dan juga ibu hamil dan melahirkan Dek Via ia mulia percaya dengan dukun itu , bersedia tak menyentuh dek Via hingga berumur tiga bulan ketika itu dek Via sakit ibupun memberinya asi dan tragis ayak dek Via sakit kemudian meninggal dunia dan terakhir suaminya tak boleh tahu ibu pernah punya anak jika iya suaminya yang terakhir itu akan membenci ibu bahkan sampai pada tingkat membunuhnya. Tak hanya itu dukun itu memberi batas waktu sebelum anak anaknya berusia 17 tahun ia tak boleh bersikap baik pada mereka apalagi memberinya perhatian lebih. Dan parahnya nenek sangat percaya dengan dukun itu, ibupun tak berdaya , kemudian jadilah ia sekarang.
Gila dan aneh, ada ada saja dukun itu memberikan ramalan buruk pada keluarga kami. Jadilah keluarga ini seperti batu yang tak peduli pada sekitar. Tapi setelah membaca suratku ibu langsung teringat pada ustazt Bakri yang lebih tahu tentang ramalan nyata itu. Dan setelah dijelaskan panjang lebar ibupun mau menerima ceramah ustazr Bakri bahwa itu semua tidak benar dan harus segera diluruskan. Allah lah Yang Maha Penentu Takdir bukan ditangan pak dukun, setelah itu ibu menceritakan pada mr.Riky dan hasil ia tambah menyayangi istrinya kemudian bersedia masuk islam malam itu juga. Namun nenek masih keras membatu sehingga ketika tahu ibu ingin menjemput kami beberapa bulan yang lalu. Nenek bersi keras tak akan pernah menginzinkan kami diasuh ibu.
“ bahkan nenek takmengizinkan ibu masuk kerumah ini”
“ jadi sekarang ibu masuk secara diam-diam?”
“ dan diluar sana suami ibu masih setia menunggu”
Aku kembali memeluknya makin sayang padanya , Subhanallah.
“ kenapa ibu tak menculik kami saja ?”
“ rencana semula sich begitu tapi ustazt Bakri menyarankan agar ibu tak menyakiti orangtua ibu sendiri, apalagi nenek itu ibu kandung ibu, sekarang Vani mau kan Bantu ibu membujuk nenek untuk berubah dan jangan lupa berdoa sama Allah”
“ tentu saja “
Tiba tiba saja ada cahaya kecil datang dari arah jendela, aku sempat kaget karena ibu tiba tiba berdiri dan melepaskan pelukannya.
“ itu tanda bahwa kita ketahuan, ibu pergi dulu yach, ibu sayang Vani,assalamualaikum”
“wa alaikum salam”
Tubuh mungilnya melompati jendela kemudian hilang diremangnya pohon pohon besar samping rumahku. Terakhir aku berterima kasih pada Allah dan juga sang gelombang yang setia menemaniku, sekarang iapun pamit pulang dan akupun terkulai lalu tertidur. Karena esok perjuangan masih panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar