Minggu, 03 Mei 2009

di penutup doa



Di penutup doa

Bagian 1 Sebuah harapan

Rona merah sang mentari tertawa begitu rupa, hingga pancaran cahayanya sangat menawan, indah dan sangat anggun melenggang indah meninggalkan sore, sebentar lagi ia akan tenggelam beristirahat untuk sementara, diganti dengan malam yang penuhi bintang dan mahkota cantik sang rembulan. Sungguh pemandangan yang sangat indah senja ini, membuat desir-desir hati semakin mantap membentuk gelombang syukur yang membuncah, subhanallah betapa Agungnya Engkau mengatur alam ini. Bertanda hati memang pantas berTuhan, hati memang pantas mengakui bahwa Tuhan Cuma satu. Ditengah riuh redamnya suara angin sore yang turut bertasbih kepada Tuhannya, aku diliputi jenak-jenak hati yang berharap, harapan yang telah kutabung sejak dulu, sejak hati mulai mengecap rasa, sejak aku mengenal kata cita-cita. Harapan yang sampai detik ini masih asyik menari dalam alunan mimpiku. Harapan yang selalu tertulis dikotak tabung mimpiku,,, sebelum azan magrib berkumandang aku selalu membuka isi kotak itu dan didepan senja aku selalu membacanya:

Tabung Mimpiku

  1. bisa keliling dunia, walau sebenarnya dunia takkan percaya gadis miskin sepertiku dapat melakukannya.
  2. bisa kuliah, sambil mencari orang-orang baik…pasti ada
  3. aku ingin sekali merasakan, perasaan berarti bagian orang lain secara sempurna, yang katanya sangat membuat hati kita sangat damai…em penasaran
  4. membangun sebuah istana yang digunakan sebagai pusat pendidikan, pasti seru…
  5. ………………………………………………..?

aku Sang penabung

Nadya

Semoga Tuhan memeluk mimpiku, tapi mana mungkin bulan depan aku penerimaan ijazah, tak ada tuch tanda-tanda bapak miliki uang banyak untuk biaya kuliahku, yang ada kehidupan keluarga ini semakin susah, makan saja aku selalu rebutan dengan kedua saudaraku, melihat itu tentu ibu semakin sedih. Dan aku sangat tak paham mengapa hati ini bagai remuk abon ketika melihat mata ibu basah. Oh benar-benar aku sang pemimpi yang malang.

Setelah shalat isya ibu selalu mengumpulkan kami anak-anaknya, bertanya ini itu. Aku, kak vani dan dek udin hanya menjawab seadanya. Tapi malam ini berbeda ibu hanya memanggilku, kami berdua saja diberanda rumah sambil melihat bintang bintang dilangit.

“ nak kapan kamu terima ijazahmu?”

“ bulan depan bu’”

“apa tak bisa diminta lebih awal, agar kau bisa cepat-cepat cari kerja di kota, terus terang bapakmu dengan kondisinya saat ini, tak bisa diharapkan, ia sangat terpukul dengan hartanya yang tiba-tiba hilang begitu saja akibat keteledorannya sendiri, sedangkan vani kakakmu juga sangat lemah, pekerjaan rumah saja berantakan, hanya kamu satu-satunya harapan keluarga ini, utang semakin banyak nak,sementara kakakmu andi belum tahu nasibnya dinegeri seberang”
”insyaallah bu’ besok saya akan datang kerumah pak kepala sekolah”

“ terima kasih banyak nak, ibu percaya engkau akan kuat “

“Boleh aku memeluk ibu?”
” kemarilah”

Aku berada dalam kehangatan, berada dalam pelukan seorang ibu, yang penuh kesabaran menghadapi getirnya hidup. Dari awal aku mendengar ceritanya, ia memang pantas kujuluki wanita sabar. Pertama pernikahannya dengan ayahku adalah sebuah keinginan orang tuanya yang sangat berbeda dengan keinginannya, tapi demi baktinya ia rela mengorbankan perasaannya bahkan mengorbankan kuliahnya saat itu. Setelah menikah memang ayah seorang kaya tapi sangat kasar sebagai suami, pencemburu ulung, sombong dan terakhir ia suka bermain wanita sekalipun telah menikah. Sekarang ia harus merawat dua orang yaitu ayah yang terganggu sarafnya dan kakakku yang ditakdirkan menjadi wanita lemah fisik, daya tahan tubuhnya sangat lemah.

Derai airmata ibu sudah cukup menghempas hatiku keluka yang mendalam, mau atau tidak ini adalah sesuatu yang harus kujalani. Tapi itu tak membuatku gentar untuk bermimpi bagiku saat itu. Mimpi yach tetap mimpi tak boleh pudar oleh takdirku, harapan tak boleh merosot oleh goyangan badai. Selama senja mesih indah tatkala akan pergi, selama tasbih hati masih mengalun indah didalam aliran nafasku, aku akan terus mengisi tabung mimpiku. Ibu menyemangati dengan kata kata itu agar aku yang terbiasa dimanja limpahan harta bisa tahan bekerja dan tak malu apalagi malas.

Keesokan harinya aku menemui kepala sekolahku dan ternyata beliau tak mau menyerahkan ijazah itu padaku, bukan karena tak mau, tapi ia adalah orang yang menjunjung tinggi kedisplinan. Hasilnya aku mengalah dan pulang dengan tangan hampa. Aku menunggu.

Tepat beberapa bulan setelah penerimaan ijazah berlalu, Tuhan tak jua memeluk mimpiku sementara keadaan hatiku makin memburuk, sedih rasanya melihat teman-teman yang lain sibuk bercerita tentang cita yang sebentar lagi mereka jalani. saat itu sebenarnya sangat ingin aku melanjutkan pendidikan ke Universitas di ibu kota, tapi lagi-lagi Tuhan belum tertarik dengan doaku. Yang Tuhan Mau saat itu aku bekerja disebuah toko besar di Kota Makassar, kota yang jaraknya berkilo-kilo dari kampung halamanku, setidaknya aku bisa membantu ibu.

Bagian 2 menangkap ceria

Awal mengijakkan kaki di kota aku nyaris tak punya teman, aneh dimana-mana dunia telah dipenuhi manusia materialis yang hanya mau menyambut tangan ketika ku ber uang, cantik dan pintar, walau miliki semangat yang membaja tapi ketiga criteria tersebut jauh dari diriku tersadarkanlah olehku bahwa semangat saja tak cukup untuk itu. Aku adalah anak seorang pedagang yang bangkrut total yang hanya bermodalkan ketulusan itu saja kuragu , parasku juga tak begitu indah dipandang mata hanya bermodalkan kulit putih, kurasa itu tak cukup, pintar. julukan itu rasanya tak pantas melekat di depan namaku. Setelah berkali-kali menyandang julukan otak tumpul. Tapi dasar aku…. masih saja bangga dengan diriku yach…. paling tidak semangat hidupku masih lebih baik dari mereka. Kenapa? karena aku masih punya tujuan yaitu Tuhan diawal, dipertengahan dan diakhir kehidupanku, walau tak banyak orang yang mengerti, tapi bagiku itu semua cukup untuk menjawab sebuah tanya. Didunia ini penuh manusia tapi tak banyak yang merasa hidup, hatinya mati oleh vonis kata tidak dari dirinya sendiri kata pak ustazt Budiman hati yang resah, gelisah dan tak tenang karena nggak punya arah.

Segalanya harus perlu pembiasaan agar aku bisa bertahan, memang susah menguras tenaga bekerja siang dan malam, sebenarnya tak ingin tubuh ini setiap harus lembur tapi kalau tak begitu gajiku tak akan berlipat ganda perbulannya, mungkin hanya bisa untuk menghidupi diriku. setiap malam badan pegal-pegal dan subuhnya aku juga harus cepat bangun, tapi dengan begitu aku sangat menikmati duniaku walau terkadang rasa bosan menerjangku begitu rupa. Tapi sudahlah toh walau menangis takkan dapat merubah apapun.

Disebuah kertas karton aku menulis kata “semangat” disana paling tidak bisa menyambutku ketika bangun nanti. Terima kasih Tuhan karena aku selalu merasakan Kau ada mengiringi langkah hamba-Mu.

“ andai saja ada perkuliahan yang gratis dan teman-teman yang baik …em..pasti sangat indah, astagfirullah aku berkhayal lagi”

Bagian 3 ayo lanjutkan !!!

. Setahun kemudian tiba-tiba ayah meneleponku dan memintaku pulang katanya ada sesuatu yang harus dibicarakan, awalnya aku bahagia kuduga ayah telah sembuh dan mau bekerja lagi, tapi sesampai disana betapa kagetnya aku. seakan dihadapan ada gelombang yang sangat dasyat menerpa kepingan-kepingan hati. Ayah semakin tak kukenal, ia berbeda, menawarkan dua pilihan yang sangat susah kupilih, yang pertama ayah memintaku untuk berhenti bekerja dan menikah saja karena ada seorang pria kaya yang tertarik padaku dan yang kedua aku masih diminta untuk berhenti bekerja dan aku harus masuk disebuah sekolah agama yang sangat asing ditelingaku dan gratis. Betapa saat itu aku sama sekali tak menyukai keduanya karena aku mulai menyukai pekerjaanku dengan gaji tinggi paling tidak dengan uang hasil keringatku bisa sedikit membuat hidupku memberikan sesuatu untuk ibu walaupun itu tak cukup menghapus luka dan keperihan dalam hatinya. lagian cita-cita kedepan aku bisa memberi sesuatu untuk ibuku dan menikah diumur semuda itu tak pernah masuk dalam rencanaku, masih banyak yang ingin teraih dengan tanganku sendiri dan biarlah Allah saja yang menemaniku. Tentang sekolah agama itu, tergambar sudah kehidupanku disana. memang sangat ingin aku kuliah tapi tidak pada Universitas itu. aku akan menjadi wanita pemurung dan tidak dinamis seperti sekarang, tertutup dan sangat kikir dengan kebebasan diatur sana sini, ini tak boleh,itu tak boleh, padahal dari dulu kusamakan diriku dengan rumput liar yang bebas dan dimata ia mau. Kucoba menolak tapi suara lantang ayah menggelegar dalam, menciutkan nyaliku untuk memberontak, aku begitu takut padanya, kupandang wajah ibu, berharap beliau bisa menolongku lepas dari keputusan ini, sebelum meminta, mata indah yang nanar itu menatapku luruh, terbaca jelas ia mendukungku tapi tak berdaya menyeka derai airmataku karena pangabdiannya pada ayahku begitu kuat, hingga membungkam mulutnya. Selain itu ia sangat tahu ayahku sekarang tak terbantahkan dirumah ini. Tapi entah apa yang terjadi sore itu, setelah shalat ashar tiba-tiba aku mengiayakan untuk pilihan kedua, paling tidak aku belum terikat dengan pernikahan. Fikirku saat itu, karena perintah ayah adalah pedang kapan aku menolak berjuntai-juntai cerca yang akan kudapati darinya. Sebelum melangkah lagi ayah memintaku menandatangani dua lembar kertas perjanjian. Isinya aku tak boleh lari, mundur dan tak mampu lagi bertahan di Kampus itu apapun yang terjadi. Walau sempat kupertanyakan, ada apa gerangan disana hingga ayah begitu tak mempercayai anaknya sendiri tapi beliau enggan menjawabnya yang kudengar hanya makian, mungkinkah disana neraka berbuah syurga atau malah sebaliknya. Aku ragu.

“ dasar anak bodoh, fikir sendiri, dirimu itu pantas dipercaya atau tidak, sudah sana!!”

Tapi aku tak boleh menangis , karena menangis hanya membuang tenaga, membuat batin ibu makin terluka, memadamkan kobaran semangat dan aku tak ingin jadi cengeng karenanya. Aku harus menyimpan airmataku karena perjalananku masih panjang.

Di bangunan cat berwarna hijau, berukuran kecil untuk ukuran sebuah Universitas. Hanya delapan kelas dibelakangnya lagi sebuah bangun bertingkat namun lebih kecil lagi beberapa ruangan dosen, dan tempat administrasi ditambah sebuah mushala dan asrama sempit untuk putra. Yach ampun kampus apaan ini, di pelosok kota Makassar kampus yang baru berdiri tahun lalu ini begitu memekik hatiku. aku akan menjadi angkatan kedua. Kubaca peraturannya, ternyata mengharuskan aku berkerudung paling tepatnya jilbab, menghafal al quran, belajar bahasa arab. Terkesan seperti pesantren. Dengan modal apa aku harus bertahan? Jilbab adalah sesuatu yang membuatku panas, menghafal al quran sangat mustahil dibenakku bacaanku saja nggak karuan, belajar bahasa arab, mungkin semua orang sepertiku akan berkata tak mungkin. Saat itu aku melupakan Tuhan melupakan mimpiku karena sibuk dengan keterkejutan putaran kehidupan ini. Nilai nilai luhur hatiku saat itu telah terkikis setahun bekerja dan bergaul dengan orang-orang yang tak suci hati tak bagus perangainya yang ikut-ikutan jadilah aku ketularan bersikap. Benar-benar kurasa semua sudah tak berpihak padaku bahkan sifat sabar yang selama ini menjadi gaun cantik kehidupanku seakan telah tersimpan dalam hingga aku sempat marah dengan takdir ini.

kubawa sekeping hati yang luruh dan letih oleh kegetiran takdir, aku merasa terbuang dan terasing diantara beberapa orang disini. Tak kutemui seorangpun yang serupa denganku paling tidak dari segi penampilan. Tergambar sudah kehidupanku nanti akan sangat kaku tak punya kreativitas lagi aku ingin menari bersama bintang, melenggang diatas bumi dengan bebas, menari bersama burung yang menyambut pagi, atau mejejakkan kaki kegunung sudah sangat tak mungkin padahal ini adalah hobyku. ditambah lagi ketika aku bertemu dengan sekelompok pria yang ketika aku lewat mereka selalu menundukkan kepala , aku selalu berkaca dan bertanya pada cermin sehina itukah diriku dihadapan mereka? walau telah membalut diriku dengan kain takwa ( mengenakan kerudung ) tapi tetap saja mereka seakan tahu bahwa aku berubah karena paksaan bukan karena ketulusan bahkan melihatku saja mereka tak sudi, karena pihak kampus mengharuskanku mengenakannya( belakangan kutahu mereka menjaga pandangan). Duniaku semakin hambar tat kala kutahu aku akan hidup dilingkungan yang penuh aturan disebuah asrama. Terpaksa aku harus membuang jati diriku untuk bisa bertahan dan berbaur dengan mereka tapi, lama-lama aku semakin menderita dan kesepian dalam gelak tawa para wanita berjilbab itu. Apalagi setelah kutahu mereka anak-anak baik yang datang dari negeri cinta dengan membawa sejuta keshalehan

Aku seakan hilang ditengah kubangan mutiara, aku merasa tak pantas ikut nimrung dalam pembicaraan panjang bibir-bibir pelantun Al-Quran, kurasa hatiku terlalu kotor bersadar di mozaik kehidupan mereka. Hati yang penuh deru dendam, kobaran amarah, ragu, terbiasa dengan kebohongan dan kepura-puraan. Sementara ketulusan yang kubawa hanya seonggok dusta yang kuyakini sendiri. Bahkan menarik nafas berkali-kalipun tak cukup menemukan kedamaian seperti mereka. Setiap ada waktu kusempatkan berlama-lama sendiri dibelakang kampus disana tumbuh ilalang dan sebidang tanah, sangat cukup memandang bebas kelangit sendirian kadang menumpahkannya kekolong langit berharap Tuhan mau menarik doaku, menyepikan diri yang memang sudah kesepian

Dan suatu hari aku menangis begitu rupa setelah mendengar ceramah penyejuk hati dari seorang yang kupanggil Ummu, saat itu aku merasa inilah diriku sebenarnya, inilah tujuanku, dan inilah jalan yang memang harus kutempuh. Sepulang dari situ aku berlari kekamar dan menangis sejadi jadinya bertaubat semampuku dan berharap sekuatku. Dan kurasa aku harus menyeka kesedihan sambil berbisik pada diri ini “ Nadya ayo lanjutkan”

Bagian 4 mengenal para bidadari

Nampaknya setelah kejadian itu, diam-diam ada yang tertarik menawarkan persahabatan denganku, tentunya ini awal yang bagus. Seorang gadis bertubuh tinggi, bermata indah dan berkulit sawo matang bersih siap menjadi pendengar setiaku, siap menangis mendengar luruhnya hatiku. Walau awalnya ragu dan penuh Tanya, akankah gadis cantik ini dapat sabar menghadapi diriku, tapi tetap aku harus menyambut uluran tangannya.

Disanalah episode cintaku bermula, aku mulai mencintai Allah, mengenal Rasulnya dan ajaran-ajaran yang di bawanya.ternyata inilah agamaku sebenarnya. Dan teringat kembali tentang doa yang pernah kumohon kupada Tuhan, sekarang aku berada ditengah orang-orang baik yang memperlakukan aku dengan baik

“ terima kasih yach Rabb” bisikku kala itu.

Kebetulan kami sekamar, ia selalu memenuhi telingaku dengan kubangan kata mutiara yang indah membuat jari jemariku tak mampu menghalau tangannya untuk menyelami terlalu dalam hatiku hingga membuatku mengaguminya begitu indah. Bagiku ia sangat pandai bercerita. Ia dirinya, mimpinya, hatinya dan seorang pria bernama Cahyono, entahlah ia siapa tapi mendengar ceritanya aku beralih pandang mengagumi sosok lelaki shaleh yang penyayang tadi. Sempat ada lintasan untuk menaruh hati padanya tapi sudahlah itu hanya sebuah khayalan semata. Sangkaku.

Di tahun kedua sebuah proposal suntingan diajukan padaku, aku kaget bukan main. rasanya belum pantas saja seorang yang bernama Cahyono yang dikenal shaleh ngotot memilihku menjadi pasangan hidupnya, mengarungi derasnya amukan kehidupan. Akupun menolaknya tanpa sempat melihat foto dan data dirinya lebih jauh dengan alasan belum pantas.

Sementara Fatimah selalu mengisi jenak-janak kekosongan dalam hatiku, menyulam kembali hati kusutku, menjelaskan apapun yang belum kuketahui, sampai suatu hari aku tertarik dengan cara dirinya menilai seseorang untuk dijadikan pendamping hati, yang tentunya baik,

“ pria shaleh menurut kamu seperti apa sich?”

“pria shaleh menurut pendapatku adalah ia taat kepada Allah dan Rasulnya”

“iya jelas, seperti itu siapapun akan dapat menilai dari sisi itu, tapi lebih jelas misalnya ada indikator lain yang beda?”

“ o..iya menurutku lelaki yang baik adalah yang menjaga pandangan dan hatinya, menjaga tiap hati saudaranya termasuk yang muslimah dan punya semangat jihad”

“ maksudnya?”

“ iya dalam kehidupan ini, banyak pria melakukan amal-amal saleh tapi maksiatnya jalan terus dan salah satu yang paling banyak terjadi adalah maksiat yang secara, mereka tak sadari yaitu berhubungan dengan gadis melalui perantara media, syukur-syukur masih lewat tulisan tapi kalau sudah berbentuk telepon ditengah malam buta dengan berdalih membangunkan salat malam atau hanya sekedar nanya ,”udah makan belum?’plus suara yang dibumbui begitu rupa ii…nilai aja sendiri ”

“ tapi bukan seratus persen lelaki itu yang salah dong, siapa suruh si wanita mengangkat telepon dan meladeninya”

“ aku nggak memvonis siapapun, Cuma memberi ganbaran tentang indikator lelaki yang kelihatan pemberani dengan ilmu dan ibadah yang mantap plus tampilan yang sempurna nyaris tanpa cacat, tapi sebenarnya lemah bukan kepalang bahkan sebenarnya merekalah lelaki tak punya nyali melebihi banci, harusnya mereka bisa menjaga itu semua, apalagi mereka berilmu dan hidup dalam lingkungan orang-orang shaleh, begitupun sebaliknya kita para wanita, jika kita dengan tangan terbuka mau meladeni pria tadi harus jadi bahan renungan, dalam balutan kain takwa yang kita kenakan, apa pantas?”

“iya ..iya benar-benar”

“emang ada apa sich?nggak biasanya nanya-nanya soal gituan”

“nggak ada apa-apa kok, ini sebagai tabungan aja, kali-kali suatu malam yang dingin HPku berbunyi kemudian yang menelepon aku adalah pangeran dari negeri India sambil bertanya hai Nadya sudah……”

“sudah ngaca belum ha..haa….” godanya

“ ye sirik aja” sambil mencubit perutnya

“auk…iya ampun calon puteri India”.

Saat itu aku memutuskan menyontek opini yang selama ini dipegang teguh oleh seorang sahabat yang terpercaya, yang selama dua tahun ini mengajariku banyak hal. Fatimah.

Ada lagi yang membuatku merasa nyaman yaitu mengenal zazkia ia adalah gadis yang memiliki senyum indah, setiap mata yang memandang akan selalu terpesona. Apalagi jika mengenalnya lebih jauh tersentuh oleh kelembutan uluran tangannya membantu,

Dan suatu malam ketika fatimah bangun shalat malam akupun dibangunkannya.tepat pukul dua malam

“Nadya katanya mau shalat ayo bangun” bisiknya

“emm..iyaaa…k ha …iya” malam yang dingin. betapa indahnya bermimpi dan berenang dalam selimut tapi aku harus membiasakan diri, katanya, jika salat malam semua doa akan dijamah Allah.SWT.aku harus berjuang melawan rasa kantuk. Stok doaku masih banyak untuk mengajukannya pada Penguasa Alam raya ini.

Setelah beberapa jam Fatimahpun memutuskan untuk tidur sebentar menjelang subuh tapi aku tidak, aku memilih duduk didekat ruang tamu yang bersebelahan dengan kamar muslimah lain yaitu faridah

Belum lama aku duduk terdengar begitu jelas suara Faridah, nampaknya ia sedang berbicara dengan seseorang, aku sebenarnya tak ingin mencuri dengar tapi lama-lama suara lawan bicara Faridah makin jelas beserta apa-apa saja yang mereka perbincangkan. Rupanya faridah sedang menelpon dengan seorang pria.

Keesokan harinya tanpa sengaja aku mengangkat telepon Faridah karena ia sedang mandi,

“ Far ada telpon ni”

“afwan tolong angkat dan Tanya dari siapa”

“assalamu alaikum”

“waalaikum salam”
”e..anu maaf maaf faridahnya lagi sibuk, ini dengan siapa?”

“ kalau kamu sendiri siapa?”

“aku Nadya temannya”

“o…o Nadya ini aku Kak Ahmad”

“ha..Ahmad siapa yach?,sok kenal banget”

“kakak tingkat kamu dikampus”

“ maaf aku nggak kenal”

“ kalau nggak ada Faridah kamu aja deh”

“hah…enak aja, kamu itu Mahasiswa kampus kita apa bukan sich?”
”iya.. emang kenapa?”

“kalau kamu Mahasiswa sini,tentunya kamu udah tahu dong adab-adab menelepon yang bukan muhrim”

“ala sok .. Cuma ngobrol doang kok,geer amat kamu”

“afwan jika nggak ada yang penting sebaiknya saya tutup teleponnya,atau mau menunggu silahkan,assalamualaikum”

“halo..haloo…” teriaknya

Aku meninggalkan HP Faridah dengan sangat kesal .

Aku takkan mau mengatakan apapun pada Faridah yang menyebalkan tentang ini, bisa-bisanya ia memberi hati pada seorang lelaki seperti dia, ia tak boleh seperti itu harusnya ia bisa menjaga diri, aku harus menasehatinya,,, tapi rasanya tak mungkin Faridah adalah bidadari yang selama ini kukagumi karena kecerdasan dan terkesan punya sikap dia pun sangat semangat dalam jenak jenak perjuangan dakwah karena pasti aku akan ditertawakannya, karena aku tak punya ilmu sebanding dengannya. Dan tak usah memberi tahu siapapun yang dalam rumah ini tidak juga pada Pembina asrama biar saja ini sebagai aib yang akan Allah perbaiki dalam bait-bait doa malamku,, pada saudara saudaraku tadi. Yap nampaknya ini jalan yang terbaik karena hidup memang adalah sebuah pilihan mungkin ia tahu ilmunya bahkan hukum-hukumnya tapi ia lebih memilih mengotori sekeping hatinya dari pada memilih Allah.

Mengagetkan sekali rasa-rasanya belum hilang dari telinga lengkingan suara pria itu mengataiku

“ jangan sok”

Dua bulan kemudian pria yang bernama Ahmad itu melamarku tapi aku tolak dengan tegas, karena bukan dia yang kuharap menjadi ayah dari anak-anakku nantinya, seorang yang jauh dari keberanian menggodai temanku ditengah malam buta melalui HP.

Bagian 5 Berita dari langit

Beberapa tahun berlalu sebentar lagi aku akan diwisuda, tinggal menunggu hari. Aku bernafas lega cucuran keringatku akhirnya berhasil, bersusah susah beradaptasi dengan lingkungan, berpeluh keringat dan airmata membesarkan hati untuk tetap bertahan dikampus dan asrama ini.akhirnya sebentar lagi aku akan terbebas dari perjanjian itu, juga aku akan melihat tangis haru ibu dan senyum bangga ayahku yang sekarang telah kuhormati dan kusayangi karena Tuhanku memerintahkanku untuk tidak membenci siapapun, apalagi seorang ayah yang sebenarnya menyayangiku. Terbayang sudah ia memegang kedua pundakku dengan bangga dan penuh harap kemudian berteriak, “hoi…langit ini aku hoi dunia aku juga punya seorang sarjana …ha…”terkesan angkuh tapi itulah ayahku, seorang Makassar tulen..

Diantara ketiga saudaraku hanya aku, sekali lagi hanya aku yang bisa menggandeng sarjana dibelakang namaku karena takdir dan kuulangi karena takdir. Dan aku sangat meyakini bahwa setiap takdir itu adalah berita dari langit.

Tiba-tiba saja wanita yang selama ini sangat kukagumi karena ketakwaan dan keimanannya datang menggandengku dengan membawa sebuah cerita sendu seorang pria bernama Ahmad.Cahyono

“ suatu hari ia melihat seorang gadis yang sedang menangis dibelakang kampus kita, saat itu ia mendengar gadis itu terisak dan menyesal dan sempat tahu gumaman gadis itu, katanya “andai saja ada seseorang yang mau membimbingku dan membawaku pergi dari sini,aku kesepian”, saat itu ia merasa ingin menjelaskan kepadanya bahwa kampus kita ini bukan neraka tapi syurga yang didalamnya bertaburan jiwa jiwa suci yang ikhlas, dan akan mencetak sarjana-sarjan islam yang berkualitas. Tapi saat itu ia tak berani karena takut menggangu gadis itu, sangat ingin ia menghapus sepinya”

“sebentar gadis itu aku kan?”
”iya pastinya siapa lagi”

“terus?”

“kemudian beberapa waktu kemudian ia membaca karya karyamu di Mading, ia kagum dan diam diam mulai menyukaimu katanya

‘desiran ini tak datang dari tatapan mata layaknya adegan cinta pesinetron atau film atau percintaan sepasang sejoli, tapi ia lahir dari sebuah karya tulis,hasil liukan jari-jemarinya yang tak pernah kulihat sedikitpun, dan guratan rindu ini lahir dari sebuah impian kecilnya, yach Rabb salahkah aku miliki rasa ini, Engkau yang tahu betapa aku berusaha keras melawannya, mensuci kembali hati tapi hingga kini aku rebah karena penolakannya’

setiap minggu ia berpuasa untuk bisa bertahan tak mengungkapkan perasaannya, tapi itu tak bertahan lama iapun memberanikan diri datang ke Murobbinya dan mengutarakan isi hatinya, setelah itu ia mengajukan proposal pertamanya dan kamu tolak”

“ o…ternyata nama belakangnya Cahyono yang selalu kamu ceritakan kesalehannya itu kan?”

“tepat sekali”

“tapi kenapa kamu begitu sangat tahu fatimah?”
” karena ia adalah kakakku, tadinya aku tak tahu bahwa gadis itu ternyata dirimu tapi setelah aku membaca buku diarinya, barulah aku sadar engkaulah orangnya”

“ha..????”

“ setelah penolakan itu ia sakit keras, apalagi setelah tahu bahwa kamu menolaknya dengan alasan tak pantas mendampinginya yang shaleh itu, tiba-tiba saja gusaran hati memaksanya berubah, karena semakin menyukaimu membuatnya berfikir bodoh, setelah sembuh ia amat berubah, ia tetap beribadah tapi sangat jarang menghafal Al Quran apalagi tilawah, iapun malas datang kepengajian, ia mulai sibuk dengan HP, tak lain hanya ingin menunjukkan padamu bahwa iapun tak sebaik yang kamu kira, terkadang tertawa sendiri bahkan mengurung diri dikamar berjam-jam hanya menulis kalimat penyesalan dan berdandan berlebihan nyaris seperti pemuda bercelana botol, yang sering kita tertawakan, aku nyaris tak percaya kakak yang selama ini memayungiku dengan bait-bait ilmunya yang ia tularkan padaku hingga atas izin Allah aku bisa seperti ini, adalah seorang yang rapu walau berusaha untuk bangkit, membangun kembali dirinya yang dulu, tapi itu membuktikan bahwa Allah memang berpihak pada perasaannya”

“sampai akhirnya ia bisa berteman dekat dengan salah satu teman kita”

“Faridah kan?”
”tepat , tapi dari mana kamu tahu itu?”

“entar aku ceritain,terus!”

“kemudian dia semakin tahu kebaikanmu, ketika ia tahu sikapmu terhadap lelaki tegas, ia semakin mengagumi dirimu.tak tanggung-tanggung iapun mengajukan lamaran lagi tapi engkau masih menolaknya, ia kembali sakit sampai sekarang ia tak bisa menopang dirinya bahkan berdiri seakan tak mampu, ia sakit namun dokter tak dapat mendiaknosa penyakitnya secara jelas dan pasti, dan sekarang kakakku sudah semakin parah dan telah dua hari tak bisa membuka mata”

Fatimah menangis begitu rupa akupun terenyuh oleh kisahnya,ia menangis dipelukanku, sumpah,, belum pernah aku melihat tetesan airmata wanita yang kukenal tegar ini walau sudah tak terhitung rintangan yang menerjangnya.

“ sobat dulu aku tak pernah percaya ada lelaki yang senekat romeo atau seperti kekasih laila yang rela gila dibuat cinta, bagiku mereka semua adalah pembohong ulung yang mengatas namakan cinta dibalik kelemahannya, tapi setelah melihat kakakku sendiri baru tersadar olehku bahwa penyakit itu memang ada, sekarang aku dalam posisi yang terjepit, disatu sisi tugas sebagai adik harus membantu kakaknya, aku amat dekat dengannya walau harus mengemis aku rela untuk cinta kakakku, tapi disisi lain sebagai muslimah aku tak mungkin memaksa seseorang untuk sebuah kebahagian orang lain yang kusayang, dan gadis itu adalah sahabatku yang sangat kutahu dirinya, Nadya jika sebentar aku berlutut dikakimu anggaplah memang aku adalah pengemis bukan seorang yang kau kenal,dulunya kita sama-sama sepakat bahwa lelaki yang menangis karena kekasihnya adalah lelaki bodoh tapi sekarang beda ia bukan menangis tapi terbaring parah karenamu”

Betapa rasa haru menggeliat dalam sanubariku, memotong-motong setiap gelak denyutannya, Ya Rabb kapadamu kuserahkan segalanya.

“dan satu lagi Nad yang memberiku wejangan tentang lelaki shaleh beserta ciri-cirinya itu dia, sejak mengenal jalan kebenaran ini ia senantiasa memberiku kekuatan yang tiada tara mewanti-wanti diriku agar senantiasa mensucikan hati dan tak mengisinya sampai menikah nanti, tapi sekarang dia sendiri yang menjadi lemah”

“apa?”

“ia sebenarnya juga membenci jika ada temannya menganggu akhwat seenaknya, tapi suatu hari ia dibutakan cinta kepadamu , hingga melupakan Allah beberapa waktu”

“Fatimah ajak aku sekarang melihat keadaannya”

“dan kumohon jangan menyakitinya”

“ ya iyalah sobat,sekarang hapus airmatamu jelek tahu”.

Angin timur membantu menenangkan hatiku dengan hembusannya yang perlahan dan lembut mengalun menusuk relung-relung kehampaan dalam ronggaku. Aku menarik nafas berkali kali sebelum memasuki kamar tempat dimana Ahmad dirawat, dengan perasaan bercampur-campur aku mulai memasuki kamarnya , segera terlihat ia begitu lemah sedang tidur diatas ranjang putih, nampak sekali ia begitu kurus. Dengan lilitan selang dijari jemari dan hidungnya.

“bu , pak ini Nadya teman Fatimah”

Tiba-tiba saja ibu itu memelukku erat sambil menangis akupun tak bisa berdiam diri, aku ikut menangis bersamanya.

saat itu aku merasakan bahagia bukan karena menertawai penderitaan Ahmad, tapi sesuatu yang selama ini telah kudapat dengan sempurna, yaitu perasaan berarti bagi orang lain telah kugenggam begitu rupa, tadinya kufikir tunggu sampai aku dapat kerja dan mempersembahkan sesuatu untuk orang tua dan keluargaku tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. aku menemukankannya pada saat seseorang terbaring sakit dan ibunya memelukku hangat dan penuh ketulusan.

“nak Nadya sudah dua hari ia koma yang sebelumnya hanya tak bisa bangun tapi sekarang ia sudah tak berdaya dan ibu takut pada selang yang ada dihidungnya”

“sabar bu yach”

Setelah mengatakan itu ajaib tiba-tiba saja tangan Ahmad bergerak, Fatimahpun segera memanggil dokter.

bagaimana keadaannya dok?”

“perkembangan yang bagus dengan mendengar suara dek Nadya saja , mudah-mudahan dengan sentuhan ia bisa cepat disembuhkan karena harus ditangani sebelum memuncak pada titik lemahnya, ia begini karena beban batin yang dibawanya amat berat hingga mengakibatkannya lemah”

Semua orang yang ada dalam ruang ICU menatapku memelas, sebenarnya tak perlu separah itu mereka memelas padaku, toh tak ada yang bisa menghalangi, hatiku masih bersih belum terjamah cinta seorang pria. Sebentar yach ampun…. ternyata inilah hikmahnya pilihanku memilih tak mengisi hatiku dengan seseorang, yang langsung kurasakan begitu indah dan sangat memudahkanku inilah juga hadiah dari Tuhan untuk orang-orang yang mensucikan hati yaitu ketenangan karena masih bisa memberi, dan kalau restu ayah dan ibu kurasa tak ada alasan mereka menolak karena Ahmad adalah anak seorang pengusaha perhotelan ternama Di Makassar, walau sering kali kubingung, Fatimah lebih memilih tinggal berpanas-panas diasrama yang kamarnya harus berbagi denganku dan tak punya kipas angina apalagi AC. Walau sangat berat kuakui bahwa ayahku memang matre. Dulu saja demi uang duajuta ia rela mengorbankan perasaanku mencabik-cabik hatiku, menyuruhku berhenti bekerja dan pengikuti saran paman yang memberikan uang padanya. Entahlah paman punya niat apa hingga rela mengorbankan uang duajuta untuk sebuah keinginannya melihatku bisa bersekolah di Kampus ini. Yang pasti paman bukan bajingan.

Baiklah aku akan menelepon ayah dan ibu pernikahan agar segera dilangsungkan untuk menyentuh saja aku harus menjadi yang halal bagi Ahmad. Dua jam kami menunggu orang tua ku akhirnya usai mereka muncul dengan wajah lelah bekas perjalanan dari kampung

Pernikahan berlangsung hikmat disaksikan oleh kedua orang tuaku,bapak dan ibu Ahmad , Fatimah , dua orang perawat dan seorang dokter.

Suara isak tangis mengalun indah membentuk nada nada unik, seakan itulah orkestra klasik yang selama ini keinginkan mengiringi pernikahanku.

Dan akhirnya aku meminta semua orang untuk keluar kuingin berdua saja dengan suamiku yang akadnya diwakili oleh ayahnya, sebenarnya sangat ingin aku mendengar sendiri dari bibirnya. Akupun mulai menyapanya

“assalamu alaikum, hai ..em izinkan aku memanggilmu sayang, karena aku pernah bilang pada Fatimah jika aku menikah nanti kumau suamiku nanti kupanggil sayang, tahu tidak apa kata Fatimah dia bilang “ dasar sastrawati kacang ijo sok romantis kalau aku manggil suamiku abiiiii saja” he…he.. genit yach? Sayang sekarang aku masih tak percaya bahwa sekarang aku telah menikah dengan orang selama ini merindukanku, inikah permata hijau yang datang semalam dalam mimpiku? Emm..entahlah mungkin Cuma kebetulan saja yach, sebelum semua berjalan terlalu jauh, saat ini kumau sayang tahu bahwa sekarang aku mencantaimu karena Allah dan tiadapun sedikit karena rasa kasihan, jadi sekarang mari merenda benang benang kasih dalam naungan cinta-Nya. Sayang diawal aku mengenal Fatimah ia banyak bercerita tentang kakaknya yang ganteng, em…he..he..benar saja kamu memang ganteng dan bukan itu yang membuatku terpesona tapi Fatimah begitu menyanjungmu didepanku, kasih sayangmu seperti kakakku Andi tapi sayang dia tak seshaleh dirimu dan kucoba mencuri saja sosok dirimu kedalam Andi mudah-mudahan menjadi kenyataan tapi Fatimah semilir berguman “dasar tukang khayal paling ulung”. Sayang pasti membosankan yach tidur seperti ini, kalau aku sich paling nggak bisa diam, kecuali jika tidur malam. Biasanya ketika semua orang nyuekin aku, cepat-cepat kuambil pulpen dan kertas yups dengan segera menulis, entah itu perasaan hatiku atau hanya sekedar mengarang bebas. Aku tak serajin Fatimah beribadah tapi aku sedang berusaha walau perlu waktu lama, jangan kecewa bila ilmuku belum seberapa, terimalah aku apa adanya. Maaf jika sikapku ini mengecewakanmu, tapi sempat aku marah padamu mengapa kamu bisa sakit separah ini, aku tak yakin alasannya hanya karena seorang wanita apalagi sepertiku, dulu Fatimah pernah mengulang kata-katamu ditelingaku yang hingga kini masih menjadi peganganku bahwa

‘kita harus mengartikan cinta dengan memberi tanpa menunggu balasan, karena itu akan membuat kita menjadi kuat dan punya mental baja menghadapi penolakan, dengan begitu kita bisa memutar segala pedih hati karena sebuah penolakan dan menghadapi hari adikku’. Tanpa fatimah tahu aku lagi-lagi menciplak itu dan menjadikannya bagian dari diriku dan setelah kupraktekkan ternyata berhasil, hubungan dengan ayahku makin membaik walau ia belum bisa meninggalkan kebiasaannya, aku semakin percaya bahwa diriku masih berkesempatan miliki teman sebanyak-banyaknya.

Sayang insyallah aku berjanji, aku kan merawatmu dan ketika sembuh nanti aku juga akan menemanimu dan ketika kau kuat aku kan berada tetap disampingmu, cepatlah sembuh agar kita bisa shalat malam bersama dan berbagi peluh bersama” betapa hati ini ditaburi bunga-bunga cinta, untuk pertama kalinya aku menggenggam tangan seorang pria dengan rasa cinta yang menggetarkan hati, sangat asing namun terindukan, ah aku jatuh cinta padanya yang sampai sekarang masih belum bisa menatapku.

Tiba-tiba HPku berbunyi

“ sebentar yach sayang aku angkat telepon dari kak Andi”

“ assalamu alaikum”

“halo Nadya selamat yach atas pernikahannya maaf kakak nggak bisa hadir, habis kamu nikahnya buru-buru sich”

“its ok don’t worry”

“oia tadii aku kerumah sakit ngantarin surat, katanya dari Universitas Kairo, aku titip sama Fatimah habis katanya kalian nggak bisa diganggu, kalian ngapain sich dirumah sakit?”

“ye..nggak ngapa-ngapain kok”

" yach udah aku mau kerja lagi salam sama suamimu, siapa namanya?”
”Ahmad”

“tut..tut…”

“Maaf yach sayang itu tadi kak Andi , titip salam katanya”. Tiba-tiba wajahnya tersenyum walau sangat tipis. Garis senyum itu tiba-tiba membungai hatiku, membuatku merasa ia sedang menyirami tubuhku dengan guyuran cintanya. Aku berbunga-bunga, perasaanku hidup dalam bayang bahagia. Subhanallah, aku segera berlari keluar memanggil ibu dan ayah sementara kedua orangtuaku telah pulang lebih awal. Dokterpun memeriksanya sementara itu Fatimah menarikku dan membawa kesebuah kursi panjang diruang tunggu,

“Nadya ini apa?” sambil menyodorkan padaku amplop besar berwarna coklat
”ini salah satu mimpi dari ribuan mimpi yang kupunya, dan sekarang aku sadar meraih mimpi-mimpi tak harus bersamaan butuh tahap-tahap” aku tertunduk

“kamu diterima di Universitas Al-Azhar? Benarkah, selamat yach”

“ terima kasih sobat tapi saat ini aku memilih suamiku”

“ maaf, maaf Nadya” ia memelukku begitu hangat hingga kurasakan persaudaraan yang amat erat

“ tak perlu minta maaf karena tak ada yang perlu dimaafkan, ini adalah sebuah pilihan”.

“ terima kasih banyak sobat”

“ini sudah dhuhur yuk kita salat di Mushala, bentar ,,,aku izin sama ibumu dulu”
”dia sekarang ibumu juga Nadya”

“ah iya..”

Hari-hari menunggu kesembuhan Ahmad menjadi bagian dari hari-hari kami, bergantian orang menemaninya bicara tanpa menerima balasan darinya. sampai suatu hari tanpa sengaja sepulang dari Mushala aku mendengar Fatimah sedang berbicara dengannya

“kak kau tahu besok ia akan diwisuda dan aku juga, sebenarnya sangat ingin aku melihatmu hadir memberiku ucapan selamat, ah tapi bukan itu yang ingin kusampaikan, dulu setelah mengenal islam lebih dekat ia bercita-cita bisa kuliah di Al-Azhar Kairo, sampai-sampai suatu hari ia mengigau menyebut Kairo berulang kali, pernah juga kudapati ia menulis nama Kairo dalam impian terbesarnya, ketika mendengar kata-kata Kairo ia selalu bercerita panjang lebar, mengoleksi buku-buku yang membahas tentangnya, kadang aku bosan mendengar ocehannya tapi aku masih memahami itu sampai beberapa hari yang lalu ia diterima di Universitas Al-Azhar melanjutkan S2 dengan mendapat beasiswa dari dua Negara, aku tak sabar ingin berbagi kesenangan dengannya tak kubayangnya girangnya ia ketika mengetahui itu. tapi keadaannya telah berbeda… dengan tenang ia menyeka airmatanya dan bilang “aku memilih suamiku”, betapa aku ikut merasakan kepiluannya, kak cepatlah sembuh kemudian ajaklah ia pergi berkeliling dunia karena ia juga memimpikan itu. Pernah aku bertanya padanya “non hari gini keliling dunia boros tahu” tapi apa jawabnya “ sobat kita harus punya tekad yang membaja, harus lincah-lincah supaya bisa , jika Allah menginzinkan anything gitu lho” ia lucu sekali membawa kepolosan dan semangatnya, diam-diam aku tertular juga namun aku tak seterus terang dia, jika mengagumi seseorang, kak sayangilah dia hik..hikk” tapi Ahmad hanya diam, aku segera masuk dan menawarkan pelukan untuknya, ia menyambut pelukanku.

Dua minggu setelah pernikahan itu, aku duduk dikursi sambil melantunkan ayat-ayat Allah,SWT. Namun aku tertidur disampingnya, dikamar itu ada Fatimah sedang tertidur disofa panjang, tiba-tiba saja tangan Ahmad menyentuh kepalaku ia mengusapnya begitu lembut segera aku terbangun dan melihatnya, alhamdulillah ia membuka matanya.

“ sayang ayo bicaralah, bicaralah! Fatimah bangun!!!”

“ada apa?”

“tolong telepon dokter “

“ baiklah”

Ahmad menatapku penuh kasih, matanya teduh tapi sebentar… sepertinya aku pernah melihatnya ………tapi dimana yach sejenak terlupakan, iya sekarang kuingat dia adalah kakak kelas sewaktu SMU dulu pindahan dari Makassar, ia pernah menolongku saat aku dibantai habis-habisan oleh kakak Pembina pramuka , beberapa hari kemudian ia dikeluar dari sekolah karena memukul seseorang, entah benar atau salah gosipnya, dan yang jelas aku pernah melihat mata itu. Ya Rabb inikah buah kesabaran yang pernah terpendam beberapa lama dihatiku, walau telah sempat kulupakan. Aku masih berhutang terima kasih padanya.

Aku menyambut kesembuhanya dengan tersenyum seindah mungkin, ia pun menyambut senyumku dengan mata berbinar-binar. Jujur aku sangat bahagia setelah perjalanan panjang melewati getirnya hidup Allah,SWT.memberiku hadiah terindah, kurasakan syukur yang bertubi-tubi merasuk bayangku hingga tak tersisa kegusaran lagi.

Bagian 6 ibu mertua

Sebulan kemudian ia telah dibolehkan pulang oleh dokter, walau ia belum bisa berbicara dan berjalan sendiri tapi aku sudah bersyukur paling tidak ia sembuh dan melihat kembali indahnya dunia.

“ dok,, apa yang menyebabkan kebisuannya dan kelumpuan itu?”

“ kemungkinan besar ada sarafnya yang terganggu tapi masih bisa disembuhkan kok, sabar saja karena penyembuhannya perlu waktu”

“ terima lasih dok”.

Aku mendorong kursi rodanya, mengantarnya kekediaman keluarga besarnya namun betapa takjub aku melihat pemandangan rumahnya yang begitu mewah

Dan keluarga Fatimah menyambutku dengan penuh kehangatan, tanpa ragu menjadikanku bagian dari keluarganya. Subhanallah inilah jawaban dari harapanku sejam yang lalu.

Belum genap sebulan aku tinggal dirumah mewah itu ibu mertua memanggilku. Ia mengajakku kesebuah ruangan yang dindingnya dihiasi dengan kaligrafi bertuliskan kalimat kalimat Allah,

“ Nadya ini adalah ruang penyimpanan emas dan barang berharga kami, kamu telah menjadi bagian dari keluarga ini, dan kamu berhak memilikinya, biasanya tiap bulan kami mengeluarkan sebagian untuk disumbangkan karena Ahmad dan Fatimah selalu menginginkan hal itu, bahwa ada hak orang lain didalamnya, sekarang kami serahkan semua padamu anakku”

“aduh bu, jangan seperti itu padaku, rasanya tak pantas aku diberi kepercayaan sebesar ini”

“ entahlah nak tapi ibu yakin kamu bisa menjalankan amanah ini”

“ kenapa bukan Fatimah Bu’?”

“ dua bulan lagi ia akan menikah dengan anak sahabat ayahnya yang menetap lama di Fakistan”

“ Fatimah tahu? “

“ sebenarnya belum, justru itu ibu meminta nak Nadya memberi tahunya, karena kami takkan sanggup melihat airmatanya kalau kalau ia menolak, di satu sisi kami sangat menyayanginya begitu dalam hingga terlukapun kami tak sanggup melihatnya tapi disisi lain ayahnya telah berjanji jauh sebelum ia dilahirkan, bukankah janji adalah utang anakku, beliau tak ingin merasa bersalah di penghujung usianya, sementara kami sangat tahu ia juga sangat patuh pada kami”

“ tapi ibu yakin pria yang akan dijodohkan dengannya itu baik?”

“ insyallah”

“ kalau begitu jangan cemas bu’ jika sesuatu itu baik mana mungkin Fatimah menolak”

“ ibu takut ia punya seseorang dihatinya”

Aku tersenyum lembut padanya

“ ah ibu, Fatimah itu gadis yang selalu menjaga hatinya, sampai sekarangpun ia tak punya seseorang dihatinya, selain Allah dan Cowok paling keren sedunia”

“ astagfirullah ia ngefans sama seseorang, waduh bahaya ni”

“ha….ha.. ibu cowok itu Rasulullah”

“ ah kamu ada-ada aja, benar kata fatimah bahwa kamu adalah keceriaan yang selalu menghidupkan tawa dalam alunan langkah”

Kamipun saling berpelukan.

Bagian 7 merayu bidadari

Aku paling suka menggodainya tapi untuk urusan pernikahan sungguh berdebar jantung ini mencobanya, karena kutahu wajahnya akan memerah karena jengkel tak terperi padaku, terbaca pula dari raut wajahnya yang masam. setiap kali kutanya tentang itu, saat itu aku harus berhati-hati mencandainya, karena ia bidadari, bagiku kebaikan,ketulusan hatinya, kecemerlangan pemikirannya, keanggunannya beribadah sudah cukup menjulukinya bidadari. Tapi sekarang aku harus mencari cara agar bidadari terpancing kedalam pembahasan itu agar aku mudah masuk dan mengutarakan maksudku.

Tapi sudahlah nampaknya aku bukan pebasa-basi ulung yang pandai mengatar kata, akhirnya terus terang jalan satu satunya.

“ fat.. ..maaf jika aku lancang mengungkit ini, tapi sebagai sahabat aku harus berada dalam posisi ini”

“ apaan sich, lancang apaan , emang semuanya harus terbicarakan kan ?”

“ soal pernikahan “

Ia hanya tersenyum

“ yah itu lagi, untung kamu sudah menikah coba kalau nggak sudah kucewer telingamu, dari dulu sudah kubilang tenang aja, akan datang masanya, nggak usah terlalu diperbincangkan, ah tapi sudahlah toh kulakukan itu untuk menjagamu hati juga kala itu aku tak ingin impian-impian kita tantang pasangan hidup mengantarkan kita pada khyalan tingkat tinggi, kan nggak bagus”

“ tapi apa salah menginginkan, toh Tuhan Maha Pengabul doa”

“ yah sudah aku mengalah, mau nanya apa tentang itu”

“ dari dulu aku penasaran bidadari sepertimu suka pria yang seperti apa? Yang tinggi putih dan beriman, mancung dan beriman atau kaya dan beriman?”
”ah Nadya, segi fisik takkan bisa membuat kehidupan kita tenang apalagi materi”

“ iya tahu, tapi itu Cuma kalimat pancingan saja”
” yang pasti aku menunggu pangeran

Dia bukan datang dengan kuda putihnya, bersaragam pangkat jenderal sambil menggendong bunga untukku

Dia juga buka sesosok tubuh kekar yang turun dari mobil sedan mutiara, yang sekali melangkah bunga-bunga berdecap kagum tak berkedip, semua kumbang iri dibuatnya, iapun mengalunkan emas dileherku.

Dia juga bukan seorang yang jika menangis semua orang ikut menangisinya, dikejar-kejar pencari berita, walau berjuta kata indah telah dibuatkan untukku

Tapi ia datang membawakanku butir-butir doa, mengalunkan kata Allah dileherku dan menggenggam tanganku dalam bait-bait perjuangan. Ia tulus, ia memaafkan, ia tak butuh sanjungan, gerak tubuhnya adalah tasbih.”

“ waow sempurna sepertinya merayu bidadari sepertimu sangat susah tapi tak apa, namanya juga merayu yang niatnya harus menaklukkan” sejenak kutundukkan kepalaku lalu bernafas dalam

“ sobat seorang ibu datang membawa berbutir-butir airmataku padaku, buka kecewa atau memintaku menghamba tapi ia hanya berucap nak bujuklah dia karena untuk melihat tangis penolakannya aku tak sanggup, Fat ia adalah ibumu, memintaku untuk mengatakan ini, bahwa maukah kau menrima pinangan seorang pria anak sahabat ayahmu, sebelum menjawab engkau harus mendengarkan ini, yang kutahu ia lelaki baik tapi tak seindah seperti pria yang engkau impikan selama ini, tapi aku percaya seorang bidadari sepertimu bisa memberinya kekuatan untuk berubah seperti yang engkau mau, percikkanlah wangimu di setiap penjuru hatimu agar ia bisa membuaimu dengan kenginan sucimu itu, tolonglah terimalah”

“ apa yang engkau ucapkan kawan?”
dua hari lagi ayahmu akan menepati janji kepada seorang sahabatnya”

“ sakit memang tapi apa boleh buat, butiran airmata ibu sudah cukup menjadi alasanku untuk tidak menolak, terima kasih kawan, dan satu jangan panggil aku bidadari, boleh aku menangis lagi Nadya”

Ia menangis dipelukanku, entahlah apa yang membuatnya begitu sedih? Yang jelas ia masih bisa menjadi bidadari setelah ini.

Bagian8 IBUKU

Saat malam telah datang suara azan menggema memecah kesunyian, memberi ketenangan setiap jiwa yang merindu Tuhannya. Setelah berdoa aku menyalami Ahmad ia nampak tersenyum walau tak berucap, namun matanya seakan berkata Nadya terima kasih, aku membalas senyumnya, damai rasanya.

“ sayang makan dulu yach! nich nasinya”

Tapi ia menggelengkan kepalanya, ia malah memintaku mengambil kertas dan pulpen, nampaknya ia ingin menulis sesuatu. Aku segera menyodorkannya

Aku menbaca tulisan tangannya

“suapin dong”

Sambil menyuapinya aku bercerita tentang rencana perjodohan Fatimah, namun aku dikejutkan oleh airmatanya, aku penasaran mengapa ia tiba-tiba menangis lalu aku memintanya menjawab pertanyaanku segera, tadinya ia menolak tapi setelah ku memohon iapun mulai menuliskannya

“ aku sedih bukan karena tak setuju tapi aku sedih karena ia kan segera meninggalkanku jauh, jujur aku sangat dekat dengannya dari kecil hingga kinipun ia masih sangat dekat denganku”

“o..kirain sayang nggak setuju, tenang aja say kalaupun ia berjauhan denganmu yakinlah Allah akan selalu mendekatkan dengan rekatan doa, percayalah” tanpa sengaja aku menjatuhkan makanannya, nasi berserakan dikakinya, piring terdengar pecah hingga mengenai tanganku walau darah bercucuran aku tak peduli, kuanggap ini kecelakaan biasa, semua penghuni rumah segera datang kekamar kami tak terkecuali ibuku yang datang mengunjungiku, ia melihat aku sedang membersihkan kaki suamiku.

“ Nadya apa yang kamu lakukan, kamu bukan pembantunya, ternyata benar apa yang selama ini kukhawatirkan suamimu itu hanya cari pembantu” teriak ibu

Langit seakan runtuh, hatiku masih tak percaya kata-kata itu keluar dari bibir seorang ibu yang selama ini menjadi penguat kekalutanku, Ya Rabb ampunilah hamba…

“ sekarang bangun!!, walau kita miskin, kita masih punya harga diri”

Ya Allah apa yang harus kulakukan disatu sisi ia ibuku di satu sisi kaki yang sekarang kupegang adalah suamiku, dalam agama berbakti kepada suami adalah wajib dan ibu. Beliau salah paham

“ maaf kak, kakak salah paham “ mertua perempuanku menyela

“ kamu lagi, nggak usah sok baik , orang kaya memang seperti kedondong manis diluar pahit didalam, anakmu itu sengaja melempar piringnya kan? Iyakan?”

“astagfirullah, bu’ ini salah paham, aku yang salah aku yang menjatuhkan piringnya”

“ ayo kak kita bicara diluar , tidak enak disini, mari”

Setelah menatap sinis suamiku, ibu mengikuti mertuaku. Sejenak aku tertunduk rasanya aku ingin menangis sekuatnya, terisak dalam kepedihan, aku seakan tak percaya ia ibuku. Yang dulu selalu mengajariku tentang cinta dan kasih sayang, yang penuh kelembutan. Tapi segera kuhapus airmata, menyadari Ahmad memperhatikanku aku tak ingin terlihat lemah didepannya yang dari awal selalu melihat keceriaanku. Aku tak berkata apa-apa padanya, menatapnyapun aku tak berani, aku tak ingin ketika menatap matanya ia seolah berkata maafkan aku, gara-gara aku lagi. Segera kupungiti nasi yang berserakan dilantai, di kakinya terakhir dilututnya, tiba-tiba ia menggenggam tanganku erat yang memaksaku untuk menatapnya

“maaf, maaf yach say, ibu tak seperti yang kuceritakan padamu, aku sendiri juga kaget”

Aku tak bisa menahan airmataku, iapun segera jatuh melewati pipiku.

Berhari-hari ibu tak bicara padaku

Dan sekali lagi hidup memang harus begitu, tangis dan tawa adalah hiasannya, duka dan suka adalah bumbunya, tak perlu menyesali begitu jauh. Walau kata orang-orang dikampungku aku adalah wanita matre yang rela mengorbankan masa depan dan harga diri hanya karena menginginkan harta, yang rela memilih menjadi perawan walau sebenarnya telah bersuami, tapi toh itu tak benar. Kini setahun sudah aku menunggu kesembuhannya tapi Tuhan masih belum mau mengabulkan doaku, ia masih tak bisa menggerakkan kakinya dan bibirnya masih tak bisa berucap satu katapun. Kami telah membawanya kebeberapa dokter, pengobatan alternatifpun telah berulang kali kami datangi tapi tetap saja ia hanya diam. Pernah suatu hari ibu sudah tak tahan melihat peluh keringatku merawatnya, beliaupun menangis dihadapanku

“ Nadya tolong jangan siksa dirimu seperti ini, walau kamu memandikanku dengan harta yang berlimpah tapi takkan bisa menghapus beban kesedihan ketika melihatmu, tinggalkan saja suamimu dan menikalah dengan lelaki normal hik…hik..”

Aku memeluk tubuhnya, aku menangis dibahunya lama sekali.kemudian kupasrahkan bibirku mencium kakinya, sontak beliau kaget dan segera mengangangkatku.

“ ibu maaf kan aku jika kehidupanku membuat hidup ibu terusik, aku tak pernah melihat derita dalam diriku selama merawat suamiku, malahan aku tak merasa kesepian lagi, aku aku bahagia bu’, kumohon ibu mengizinkanku untuk merawatnya selamanya, bukankah ibu pernah bilang suami adalah pilihan untuk menjalaninya dan kita berhak memilih, saat itu aku meminta ibu meninggalkan ayah tapi bersi keras ibu tak mau, walau telah tersakiti berulang kali, nah anggap aku seperti ibu, aku memilih suamiku merawatnya mendulang segala peluhnya dikala ia terjebak dalam luka, mohon ibu mengerti”

Seketika ibu terdiam tangisnya terhenti lalu mencari raut wajahku, kami saling berpandangan

“ anakku maafkan aku, aku hanya tak ingin kau terluka, baiklah tempuhlah jalan yang kau pilih”

“aku butuh doa ibu untuk menjalaninya” karena kuyakini hadist Rasulullah: ridho Allah berada diatas ridho orangtua

“pasti nak pasti”.

Dan sekarang saat kurebahkan tubuhku dihadapan sang Maha Kuasa, menangis sebisaku, meratapi segala niat yang ternoda oleh keburukan, dan berdoa atas kesembuhan suamiku

Di penutup doa aku mendengar teriakanseorang laki-laki terdengar begitu nyata dari kamar mandi pribadiku. Aku bergegas menuju ketempat sumber suara itu dan ternyata betapa takjub diriku melihat pemandangan indah didepan mataku sendiri.

Ahmad berdiri tegak walau masih bertumpu pada dinding kamar mandi, ia terlihat sangat bahagia, aku masih tak percaya tapi setelah ia menggerakkan bibirnya seketika kumendengar suara yang begitu menyejukkan hatiku, suara yang selama ini kutunggu, suara yang selama ini kupertanyakan bentuknya. Ternyata begitu jelas mengalun rindu di telingaku,

“sayang tolong Bantu aku”

kesentuh tanganku sendiri kutampar pipiku agak keras dan ternyata ia masih berdiri, aku berbalik mencari seseorang disekitar ranjang tapi tak kutemukan sosok yang mirip dengan orang itu disana . ternyata benar ia adalah Ahmad suamiku. Segera kumemeluknya erat, terima kasih ya Rabb dengan segera Engkau mengabulkan doa.

Kami bercerita sepanjang malam tertawa riang dalam derai haru, kami betul- betul menikmati kebersamaan itu bahkan seperti malam pertama saja kami sengaja tak memberi tahukan orangtuanya. Supaya ketika sarapan pagi nanti berita kesembuhannya ini menjadi pembuka senyum orang tuanya. Sekali lagi ini adalah takdir.ok.

Selesai…tamat…the end…ammarimi…tamma’mi…cappu’ni…halas…berakhir.ha...ha..



Tidak ada komentar:

Posting Komentar