Jumat, 20 Maret 2009

AKU MEMILIH

Duduk senderi di pesisir pantai bukan sebuah kisah klasik dimalam hari atau dongeng sendu gadis merana yang hilang dalam pekatnya malam tanpa bekas walau setetes airmata, namun ini adalah sebuah gelombang deburan kehidupan, perenungan sakral jiwa perindu ketenangan. Aku tak merasa kesunyian karena ada deburan ombak mengurai nada-nada keperkasaan, desiran angin timur merajut kembali tali-tali kesemrautan dalam hatiku dari situ aku merasakan ketegangan otak yang direnda oleh dinginnya angin pantai. Ada melodi melodi indah yang terangkai dalam aturan nafas diri. Aku tak sedang lari dari kenyataan yang memang sedang gencar-gencarnya berlayar dalam samudera kehidupanku, tapi hanya ingin menikmati sebuah kesendirian, sejenak merasakan indahnya memutuskan arah sendiri tanpa harus diremot oleh hawa nafsu yang menggilasku. Ikatan ini harus terhentikan namun sayang cahaya suci belum terkejar olehku dan belum kuat berlari untuk menggapainya. Untuk itu disini tak ada rasa takut sama sekali pada apapun, gelapnya malam, suara aneh yang meliuk liuk,apalagi pada kumbang yang terlena oleh buai dunia sedang mengincar manisnya madu-madu jalanan.

Ada hal penting yang masih perlu kutabuh agar mereka semua terbangun dalam mimpi yang melenakan, sehingga sebuah kewajiban yang selama ini terabaikan dapat mereka genggam kembali yaitu miliki cinta yang sebenarnya bukan cinta dalam bentuk rayuan atau hanya sekedar kata yang sering terimplementasikan dalam ikatan kebersamaan yang tak wajar. Nilai nilai kelembutan telah disalah artikan,gendarang gendarang pengingkaran telah tertabuh sedemikian rupa, syair syair indah telah diunggah begitu berduri. Dan dari sinilah perenungan perenungan diriku bermula

Suatu hari ada seorang yang menjuntai kata menegur begitu tajam padaku, bahkan beberapa orang ikut andil dalam hal itu, walau sebenarnya juntaian kata itu adalah sebuah nasehat untuk aku berdiri lebih baik dan terarah, tapi dasar hatiku telah terlebur oleh kerasnya batu, sekilas begitu memerihkan, hingga tubuh ini remuk redam dibuatnya. Jiwaku berontak tatkala mendengar begitu rupa teguran itu, saat itu rasa rasanya tak pantas saja seorang dia melontarkan kata-kata itu,ia bukan seorang lelaki shaleh yang tahu batas batas , sering kudapati ia juga bersmsan nggak penting dengan temanku, dia juga tak terkenal dengan keteladan yang baik, apalagi hembusan angin terdengar begitu samar bercerita tentangnya. Hah.. aku amat tercekik malu , entahlah malu pada siapa yang jelas aku malu, seorang dia terkesan menggurui dan tergambar seolah dia saja yang merasa miliki ketakwaan yang utuh, kemarahan yang membuncah padanya meliuk liuk dalam lambaian pikiranku, aku masih ragu teguran itu bermakna nasehat atau hanya sekedar taktik kelelakiannya untuk mencari perhatian. Hua…h setelah puas mencercanya aku tak harus mengabadikan perasaan perasaan ini, karena kutahu akan ada masalah baru nantinya. Disatu sisi diriku harus mendapat hantaman seperti itu agar aku bisa tahu seberapa kuat aku menghadapi badai ditengah gelombang .

Tersadarkanlah aku, bahwa aku juga bukan orang yang sempurna dan bersih dari dosa, banyak gerak langkahku masih tak sejalan dengan syariat agama, bila dibandingkan dengan wanita wanita mulia dizaman nabi, namun dia harus tahu bahwa aku adalah wanita akhir zaman yang berusaha untuk shalehah, walau tak seindah bidadari-bidadari syurga nantinya. Aku tak tinggal

diam tatkala orang lain banyak melakukan kesemrautan dinegeriku membuat hati ini terkoyak dan kusut tak karuan, lihatlah kanca perpolitikan saat ini begitu panas dengan persaingan, berlomba mengejar dunia, mengakses segala cara yang melanggar aturan tapi..! dengan kecewa dan menangis apa yang akan terjadi? Jawabannya mereka sangat acuh bahkan seringkali terkesan arogan urusan perasaan seakan hanya sebuah kabut putih digunung salju bahkan hampir tak terlihat sama sekali oleh mereka. Apalagi dengan cara menulis sebanyak banyaknya kritikan dimedia dengan kalimat cacian dan kegusaran yang mendalam beserta dalil dalil dari Tuhanku, lalu apa tanggapan mereka? Paling Cuma bilang

“ entar juga berlalu, cuek sajalah he…he…”.sangat memiriskan memang,tapi tentunya aku harus berputar haluan, yap menghadapi mereka adalah salah satu jalan beronak namun terdapat buah syurga didalamnya. Bukan ikut menjadi pecundang nekat seperti mereka atau hanya sebagai penonton lalu berkomentar ini itu dan memfonis mereka seenaknya tanpa ilmu,atau jadi tukang adu, apalagi sampai merasa paling suci diantara mereka tanpa mau berusaha meluruskan sekumpulan jiwa yang telah teraniyaya oleh hawa nafsu secara lembut dan penuh hikmah dan jauh dari bendera perang. tapi ikut bersama orang orang pencinta keadilan, yang misinya adalah perdamaian dan berasas pada hukum Allah.SWT. serta hadist shahih adalah keputusanku.

Biarlah orang lain berkomentar tak mengenakkan dihati yang terpenting Allah.SWT. Maha tahu segalanya.karena aku adalah wanita akhir zaman yang berusaha untuk shalehah.

kata seorang ustazt “bergeraklah karena diam itu mematikan”

Seorang penulis kenamaanpun pernah mengurai tulisannya “ bahwa mencintai adalah ketika kita memberi tanpa menunggu balasan pembarian kita”.yang pasti aku tak ingin mati karena diam dan mencintai agama dan negeriku tanpa memberi sedikitpun apa apa dariku

Dan aku jua pernah bilang kalau hidup dihabiskan untuk kecewa takkan ada habisnya aku akan termenung dipantai ini. Dan akhirnya bulir bulir sinar transparan masuk kedalam sanubariku hingga mengantarku pada pemahaman bahwa agamaku tak mengajarkanku untuk berlama lama sendiri diluar rumah tanpa seorang teman, biarlah teguran seseorang tadi berlabuh dalam lautan sanubariku dan membiarkan sang gelombang mengikis kegersangannya. Yang pasti sebuah kesalahan yang sempat terekam dalam benaknya hingga menghasilkan teguran begitu rupa terhadapku adalah pelajaran berharga yang tiada tara, bahwa aku adalah manusia yang memang selalu punya titik kesalahan dan itu sangat wajar karena aku akan selalu sadar bahwa kesombongan takkan pantas dimiliki oleh orang yang percaya bahwa Sang Penguasa langit itu ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar